Kamis, 02 Januari 2014

Fanfiction: The Fate




Annyeong~ Para calon readers *lebay ya?* jangan lupa, sebelum nutup halaman ini dan yang udah selesai baca, dikasih komentar dong :o kasih jejak lah yang udah baca, biar keliatan yang baca banyak apa ngga^^ di stat ditulisnya ratusan viewers tp kok gaada komennya....?


POKOKNYA YANG GAK MAU COMMENT
GAK USAH BACA! *kejem ya? -_- haha

diingetin lagi nih! COMMENT!

hehe.. okay, yuk langsung scroll ke bawah :D
Author: Protected
Title: The Fate
Cast: Onew SHINee (notmention), Taeyeon SNSD
Genre: Romance
Length: One Shot

Kau percaya takdir? Aku percaya. Tapi aku tidak menyukai takdir. Aku takut pada takdirku.
Takdir adalah sesuatu yang harus kau terima dan tidak bisa dielak. Bagaimana cara kau membayangkan takdirmu? Apakah bahagia? Indah? Menyenangkan? Apa yang harus kau lakukan jika ternyata takdirmu menyedihkan dan berkebalik dari bayanganmu? Menganggapnya itu bukan takdirmu? Tidak bisa!
Itulah arti ‘takdir’ bagiku. Itulah yang selalu aku takuti, Bagaimana jika takdirku menyedihkan? Aku harus apa? Mungkin kehidupanku memang baik-baik saja sekarang, tapi bagaimana jika setelah detik ini nasib buruk menghampiriku?

“Menurut ramalan di majalah, minggu ini aku sangat sial. Akan ada banyak hutang, cinta ditolak dan bisnis bangkrut.” Aku merebut majalah yang sedang dibaca Luna dan langsung membuka ke bagian horoskop. Setengah alisku naik, “Benarkah?”

“Semua itu akan terjadi jika kau tak segera menulis, Taeng!” Tiba-tiba Seohyun yang sedari tadi sibuk dengan pulpennya memecah lamunanku. “Memangnya ada ap--“ kata-kataku otomatis terpotong saat kedua pandanganku sampai pada buku Fisika yang ada di meja Seohyun.

“Kenapa baru ngomong sekarang sih? AAAAA!!! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Taeyeoon, kenapa kau bisa melupakan hal penting seperti ini sih?!” Aku sibuk sendiri sambil terus mengatakan ‘bodoh’.

Layaknya orang yang akan mendapatkan ajalnya, pandanganku mendadak kosong. Tangan dan meja yang sudah siap untuk bertempur malah tak bekerja. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku kelak. Dan sampailah saatnya ajal itu datang, bel terdengar menjerit keras ke kelas-kelas dan koridor. Bel kali ini entah kenapa lebih lama dari biasanya, membuat tangan dan kaki berkeringat dingin, “Sial! Aku harus apa?” Benakku dalam hati.

Terdengar langkah sepatu guru mendekati kelas. Keringat dingin makin tercucur di telapak tanganku.
 “Aku harus bagaimana? Haruskah aku memberitahukan segalanya? Apa harus seperti itu?” Ucapanku sudah mulai meracau kemana-mana. Teman sebangku-ku saja tak dapat bereaksi apapun saat melihat bukuku yang masih kosong.

Menyadari nasibku yang tidak akan bisa diubah lagi, aku-pun memantapkan sesuatu,
”Ya! seperti itu saja! Saat guru masuk kelas, aku akan cepat-cepat ke meja guru. Daaan... mengakui semuanya.” Pikirku.
Saat sang guru mulai melangkah masuk, tanpa membuang waktu sedetikpun aku langsung menghampirinya dan menjalankan rencanaku. Dan alhasil? Berakhirlah aku di luar kelas dengan buku PR dan alat tulis.

“Yaah.. daripada aku terus berkeringat dingin di dalam. Lebih baik mengaku saja.” Pikirku positif.
Beberapa menit lalu, PR-ku ini adalah suatu malapetaka besar buatku. Namun ternyata, setelah pulpen dan tanganku bergerak aku baru menyadari bahwa PR-ku itu hanya butuh 10 menit untuk selesai! Soalnyapun tak ada sedikitpun yang merumitkan.

“Ah, aku menyesal tidak mengerjakannya dari awal.”

PR selesai dan aku masih mempunyai 35 menit lagi, “Aku harus ngapain nih?”
Setelah membuang 10 menitku sia-sia hanya untuk memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak penting, akhirnya aku memutuskan untuk mengisi waktuku dengan berkeliling sekolah. Sekolahku tidak mewah, pohonpun hanya beberapa butir saja yang tumbuh. Halamannya juga lebih kecil dibandingkan ruang kelasku. Namun, berjalan di saat koridor sepi seperti ini ternyata sangat mengasyikkan, terasa suasana damai di hatiku. Mungkin berlebihan, tapi ini sungguhan.

”Ternyata, kalau dilihat-lihat sekolah ini indah sekali ya.” Bisikku.
Aku terus menikmati jalan-jalanku itu, sampai akhirnya sebuah penampakkan terlihat olehku. Penampakkan itu entah kenapa membuatku penasaran. Aku mencari tempat yang pas untuk melihatnya. Saat dirasa sudah cukup nyaman dengan posisi, terlihat bahwa ternyata penampakan itu adalah kepala sekolah yang sedang bersama dengan seorang murid dan orangtuanya yang saling melempar senyum, “Formal sekali. Dia anak baru?”
***
Hujan turun dengan derasnya, ribuan tetesan langit itu menyerangku yang tidak membawa payung.
“Ah, sial! Payungku kemana sih? Aku ingat aku membawanya, tapi kenapa tidak ada di tas?”
Stasiun kereta masih jauh disana, namun tubuhku sudah basah seperti ini. Kini aku sedang meneduh di halte bus dan beberapa kali bus kota telah menawarkanku naik, tapi tentu saja aku menolaknya. Toh, angkutan yang seharusnya aku naikki bukan bus, tapi kereta!

Aku menunggu sejenak hingga setidaknya hujan ini sedikit reda. Tapi hujan sangat deras, ditunggu seharianpun hujan ini akan terus turun!

“Ah aku terobos sajalah! Daripada ketinggalan kereta!”
Tanpa diselimuti keraguan sedikitpun, aku mulai melangkahkan kakiku dan bersiap lari menerobos lebatnya hujan. Namun tiba-tiba langkahku terhenti. Entah kenapa hujan yang lebat itu sama sekali tidak terasa sedikitpun olehku. Ada seseorang yang mempayungiku! Aku mencoba melirik ke samping dan pada detik itu juga aku kaget mendapati seorang lelaki berdiri di sebelahku.

“Kau satu sekolah denganku, ya?” Ucap lelaki itu yang sepertinya tidak mengetahui raut wajahku yang sangat kaget. Cepat-cepat aku menghilangkan rasa kagetku dan memandang seragam yang ia pakai,

“Sepertinya tidak. Seragamku dan seragam punyamu sepertinya berbeda.” Jawabku. Bukan sepertinya, tapi ini jelas berbeda, benakku.
Setelah mendengar jawabanku, lelaki itu ikut memperhatikan seragamnya. Beberapa detik kemudian akhirnya ia tersadar dan kembali menegakkan kepalanya.

“Oh! Itu... hm, aku baru pindah.”

“Pindah?” Mendengar kata ‘baru pindah’ aku teringat saat aku sedang jalan-jalan mengelilingi sekolah.

“Ah! Kau yang anak baru itu? Ah... iya aku tahu itu. Hm.. tapi terimakasih atas tumpanganmu, aku baik-baik saja. Sampai jumpa.”

Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku langsung berlari menjauhi lelaki tadi, “Walaupun satu sekolah, tak ada salahnya kan mewaspadainya?”
***
Sesampainya di stasiun, entah kenapa sepertinya stasiun yang biasanya memang ramai kini lebih ramai lagi. Ditambah raut muka orang-orang yang tampaknya kebingungan. Penasaran apa yang terjadi, akupun memberanikan diri bertanya pada salah satu wanita berkisar umur 20-an yang berdiri di dekat loket,

“Orang-orang kenapa ya? Kok sepertinya mereka kebingungan sih?”
Wanita itu sibuk memperhatikan sekeliling tanpa memperhatikan wajahku, “Iya de. Soalnya banyak kereta yang lagi mogok.”

“Kenapa?”

“Katanya sih ada longsor.”

Seketika raut wajahku berubah panik, sama seperti orang-orang yang aku lihat tadi, raut kebingungan.

“Terus bagaimana aku pulang?”

Aku bingung setengah mati, kalau saja uangku cukup, aku akan naik bus kota. Tapi uangku hanya cukup untuk naik kereta! Bagaimana ini?

“Kau kenapa?” Tiba-tiba muncul seorang lelaki di hadapanku. Ia muncul seperti hantu yang hendak mencari mangsa untuk ditakuti.

“Ah! Kau lagi?” Seruku. Mendapati reaksi tak menyenangkan dariku, ia-pun sedikit ragu untuk bertanya kembali,

“Kau kenapa? Sepertinya panik sekali?”

“Ah, itu! Keretanya... AAAAH!!! Tak tahulah aku!”
Mengerti situasi, lelaki itu memandangiku dengan iba, “Mau coba telpon rumahmu?”

“Ah tak usah, aku tinggal sendiri.”
Setelah berbicara seperti itu, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya.  Keheningan muncul menyelimuti kami.

“Oh iya, kok sepertinya kau tak sepanik aku?” Tanyaku memecah keheningan.

“Hm.. aku ada tante yang tinggal di sekitar sini. Mungkin aku bisa numpang disana.”

“Oh, terus kenapa tidak kesana?”

“Lalu, kau bagaimana?”

“Tak tahu, tapi aku baik-baik saja. Pergilah.” Ujarku mencoba untuk tidak membuat lelaki itu mengkhawatirkanku. Namun sia-sia saja, lelaki itu tampaknya malah semakin ragu untuk meninggalkanku sendirian disini.

Tidak sampai 5 menit kemudian, akhirnya dengan sedikit khawatir lelaki itu berpamitan dan pergi.
Kini aku bingung sendiri, sekarang aku harus apa? Haruskah aku menginap di stasiun? Tidak mungkin, kan?

“Ternyata benar apa kata majalah itu, hari ini nasib buruk datang! Ah memang takdirku itu menakutkan, tidak bisa diduga.”

“Kalau dipikirkan, hari ini tidak ada kejadian yang membuatku senang.” Ujarku lagi.
Lima menit, 10 menit, 15 menit aku duduk di stasiun. Namun tak ada yang berubah, aku hanya duduk memandangi berbagai macam orang yang mondar-mandir di depanku.

“Sampai kapan aku akan terduduk disini?”

“Kau bisa mampir ke rumah tanteku.” Ucap seseorang di balikku. Aku menoleh ke sumber suara,

“Kamu lagi?” Lelaki yang merupakan anak baru di sekolahku itu entah darimana muncul di hadapanku. Ia tersenyum manis untuk pertama kalinya di hadapanku.

Dengan cepat lelaki itu menarik tanganku dan menuntunku ke luar stasiun.
“Wah, hujan makin deras saja ya.” Gerutunya tiba-tiba saat sampai di depan stasiun.

“Aku hanya bawa satu payung kesini. Tak apa kan kalau kita sepayung berdua?”
 Tanpa menunggu jawabanku, ia lagi-lagi langsung menarikku dan memayungiku sampai ke sebuah mobil.

YA!! Seenaknya saja! Kau mau menculikku?” Teriakku waspada. Aku melepaskan genggamannya dengan kasar. Namun jawabannya? Hanya senyuman yang kudapat.

“Masuklah. Kau bisa singgah di rumah tanteku. Ia tidak punya anak dan sangat menginginkan seorang anak perempuan. Dia sangat baik, percayalah.”
Lelaki itu membukakanku pintu mobil. Aku melihat sepasang suami-istri duduk di bangku depan, tersenyum padaku yang bermuka kacau,

“Selamat datang.” Sambut sang istri.

Melihat sambutan yang begitu hangat, dengan sendirinya aku tergerak masuk ke dalam mobil. Aku duduk di bangku belakang bersama... seseorang yang bahkan entah siapa namanya.

“Kau ini benar-benar namja teraneh yang pernah kukenal.”

“Benarkah? Bagus kalau begitu.”

“Kau tahu? Kita baru saja bertemu beberapa jam yang lalu. Dan kini... entah bagaimana, aku bisa duduk disini.”

“Ini takdir. Takdir yang dimulai saat seorang lelaki manis menghampiri seorang gadis menyedihkan yang ingin menerobos hujan.”

Kata-katanya membuatku membuatku tertawa kecil. “Bahkan kita belum berkenalan. Aku Taeyeon, siapa kau?”

“Aku? Hm.. apa hal pertama yang terbayangkan olehmu saat bertemu denganku?”

Namja aneh.”

“Oke! Aku adalah ‘namja manis yang aneh’. Panggil saja aku seperti itu.”

“Tidak mau.”

“Haha kenapa tidak?”

“Tidak kenapa-napa”

“Hm, kalau begitu.. mari kita berkenalan esok hari di sekolah.”
***

The End :3

Gimana FF barunya? Makasih yang udah mau baca one shot ini! FF baru dari Korean Shine^^ Semoga suka yaa~ yang sudah baca, tolong ninggalin jejak!! Kasih komen :D kritik dan saran sangat dibutuhkan~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar